Sabtu, 21 Januari 2012

20 Tips Komposisi Fotografi

Komposisi dalam bidang seni apapun adalah ibarat selera akan makanan, semua kembali ke preferensi  masing-masing. Namun begitu, ada beberapa panduan tertentu yang tak lekang waktu dan ikut di amini oleh mayoritas pelaku.
Duapuluh tips singkat komposisi untuk fotografi berikut disarikan dari beragam sumber tulisan serta buku fotografi dan semoga pembaca bisa menambah atau menguranginya dengan mengisi komentar di akhir tulisan. Isinya bukan aturan tapi panduan, karena sekali lagi komposisi adalah masalah selera.
  • Tarik perhatian ke arah subyek utama dalam foto. Manfaatkan warna, bentuk, cahaya atau garis supaya foto tampak kuat dan menyedot perhatian2918681424_4ebd1a42dc_m

  • Sederhana, makin sederhana susunan foto anda makin kuat kesan yang ditimbulkan 853806749_b775c85369
  • Kurangi elemen yang tidak seirama. Jika menurut anda ada elemen tertentu yang merusak irama dan keharmonisan foto, singkirkan – tutupi – atau pindahkan sudut pemotretan supaya elemen tersebut hilang istock_000009494535small
  • Penuhi seluruh isi frame dengan obyek utama. Kadang foto yang kuat kesannya adalah foto yang tanpa background sama sekali istock_000010211189xsmall
  • Jangan biarkan ruang kosong mendominasi foto 3909629229_bce2a169b5_m
  • Cek daerah disekitar garis frame, jangan biarkan ada tangan, kaki atau bagian penting obyek terpotong tanpa alasan kuat
  • Maksimalkan penggunaan point of view (titik pandang) yang menarik, jangan melulu memotret dari depan subyek istock_000003706484xsmall
  • Jangan lupa rule of third. Tarik garis imajiner yang membagi foto menjadi 9 bagian sama besar. Tempatkan obyek utama di persimpangan garis-garisnya2958127042_a5f79e9b29_o
  • Saat memotret orang, usahakan selalu agar mata berada diatas garis tengah foto istock_000003558969xsmall
  • Bagian paling terang dalam foto adalah bagian yang paling menyedot perhatian mata. Taruh obyek utama disana Sandcastle on Morro Strand State Beach, with Morro Rock visible in background, after sunset 24 Aug 2009
  • Background lah yang memperkuat kesan. Jadi jangan biarkan background mematikan obyek utama. Baca lebih jauh tentang background disini.2985066755_a23e402f28_m
  • Memotret secara horisontal memperkuat kesan lebar dan secara vertikal memperkuat kesan tinggi
  • Tajamkan mata untuk mengenali pola yang berulang, manfaatkan  22348414_9769281ba9_m
  • Tajamkan mata untuk mengenali pola simetri, manfaatkan 350058516_10387c7459_m
  • Leading line dan kurva-S selalu menyenangkan dilihat istock_000011126150xsmall
  • Untuk memotret anak-anak, jongkoklah. Sejajarkan kamera dengan mata mereka DSC_3897b
  • Hindari menaruh titik perhatian tepat ditengah-tengah foto
  • Hindari meletakkan garis horison tepat di tengah foto, usahakan horison ada di sepertiga atas atau bawah Delineated
  • Jangan biarkan garis horison menabrak bagian obyek yang penting
  • Cek, cek dan cek lagi sesaat sebelum memencet shutter. Pastikan apa yang tampak di viewfinder sesuai keinginan anda Hydrant
Baca juga: Elemen Komposisi Dalam Fotografi: Garis, Bentuk, Pola.

 [belajarfotografi.com]
»»  Read More...

Kamis, 19 Januari 2012

Bulb Photography

Mengambil foto jejak cahaya (bulb) memang nampaknya sulit dilakukan, tapi sebenarnya agak lebih mudah dari yang dibayangkan, dan didasarkan pada banyak eksperimen coba-coba. Foto jejak cahaya yang paling umum biasanya lampu depan dan belakang mobil, tapi anda juga dapat membuat jejak cahaya bintang atau pergerakan cahaya lainnya.


Tips Fotografi Jejak Cahaya

Jejak cahaya pada dasarnya adalah gambar paparan lama yang berlangsung di sekitar sumber cahaya yang bergerak. Anda tidak perlu banyak hal untuk bisa mengambil gambar ini, kecuali kamera yang tepat, dan peralatan tambahan, walaupun tidak semua diperlukan. Berikut ini dasar-dasarnya.

Peralatan

Untuk pengambilan gambar paparan lama yang merupakan dasar tutorial ini, anda perlu kamera yang memiliki pengaturan eksposur, misalnya mengubah kecepatan rana atau shutter speed. Beberapa kamera memungkinkan anda untuk memperlambat kecepatan rana, sementara kamera lainnya seperti DSLR memungkinkan anda untuk tetap membuka shutter untuk waktu yang tak terbatas hingga anda memutuskan untuk menutupnya. Hal ini akan memungkinkan cahaya masuk ke dalam kamera sebanyak mungkin sesuai yang diperlukan.

Anda juga membutuhkan tripod, karena memegang kamera dengan tangan untuk mengambil gambar paparan lama hampir tidak mungkin untuk menghasilkan foto yang baik.

Dua hal lagi yang diperlukan ialah remote shutter release dan hood atau topi lensa yang dapat membantu memblokir cahaya sekitar misalnya ketika anda berada di tengah kota dengan lampu jalan. Remote untuk tombol jepret akan membantu anda menghindari goyangan kamera. Juga gunakan fitur mirror lock-up pada kebanyakan DSLR yang juga akan meminimalkan goyangan kamera. Tips terakhir, jika kamera anda memiliki fitur noise reduction gunakanlah.

Namun gunakan fitur itu ketika anda tahu waktu rana sebenarnya yang akan anda gunakan. Noise reduction mengambil paparan pertama lalu akan menutup shutter, dan mengambil gambar yang sama dengan warna hitam, dan memadukan kedua gambar tersebut untuk mengurangi noise. Alasan anda menunggu hingga benar-benar tahu waktu paparan sampai anda mengaktifkan fitur ini ialah karena jika anda mengambil eksposur atau paparan lama dua menit atau lebih, maka itu berarti bahwa anda harus menunggu empat menit hingga keseluruhan prosesnya selesai.

Mengatur Pengambilan Gambar

Sebagai contoh, katakanlah anda ingin mengambil jejak cahaya lampu mobil. Anda mestinya mencari tempat di mana banyak terdapat kendaraan lalu-lalang dengan cepat, dan tidak banyak cahaya sekitar. Namun, beberapa tambahan cahaya misalnya neon box dapat menambahkan efek yang cukup menawan pada foto anda. Sekarang temukan perspektif atau pemandangan yang akan menangkap lampu mobil yang lewat, kemudian atur tripod dan kamera anda, lalu bersiap-siap.

Pengaturan Kamera

Di sinilah tempat eksperimen coba-coba. Tidak ada pengaturan kamera yang "sempurna". Semuanya tergantung pada cahaya sekitar, dan seberapa cepat lalu lintas bergerak, dll.
  • Yang pertama, atur kamera pada setelan ISO paling rendah. Ini akan mengurangi noise pada gambar.
  • Selanjutnya, atur apertura (naikkan f-stop) dan ambil tes gambar kemudian lihat hasilnya. Ini merupakan bagian coba-cobanya. Umumnya setelan f-stop berada di angka 10 atau lebih jika anda menggunakan mode bulb.
  • Jika hasil gambar terlalu gelap, naikkan apertura atau bukaan lensa. Jika gambar anda terlalu terang, kurangi bukaan lensa. Apertura juga akan mempengaruhi jangkauan fokus. Ingatlah bahwa anda tidak perlu terkungkung pada setelan ISO 100 atau 200, cobalah semua setelan yang cocok dan lihat mana yang paling baik. Anda juga bisa menggunakan mode bulb yang akan membuat shutter tetap terbuka selama yang anda inginkan, lalu tekan kembali tombol shutter untuk menutupnya. Pada kamera DSLR biasanya mode ini ditandai dengan "B".

Waktu Pengambilan Gambar Yang Tepat

Bagian terakhir ialah menemukan timing yang tepat. Anda perlu melihat melalui kamera anda dan mengetahui kapan foto itu dimulai. Hal ini dimaksudkan agar anda mengambil gambar ketika mobil masuk ke dalam frame gambar. Jika tidak, anda akan melihat goresan cahaya yang mulai dari tengah gambar, entah dari mana datangnya. Hal ini kadang-kadang bisa dihindari, dan kadang-kadang juga bisa menjadi sesuatu yang mengagumkan. Tapi sebaiknya menekan tombol shutter sebelum mobil memasuki frame gambar.

Tips Terakhir

Ini merupakan tips terakhir, dan anda siap untuk mengambil gambar. Pertama, selalu mengambil gambar dalam format RAW agar penyesuaian selanjutnya dapat diperbaiki dengan mudah. Berikutnya, anda mungkin perlu menggunakan fokus manual, karena kadang-kadang sulit untuk mendapatkan fokus dalam keadaan gelap. Terakhir, ingatlah perbedaan yang dihasilkan f-stop. Misalnya anda mengambil gambar pada f/5.6 di lampu jalan, dan hasilnya normal. Jika anda mengambil gambar yang sama dengan f/16, anda akan akan memiliki efek bintang pada lampu itu. Hanya perlu diingat jika ada subyek cahaya lain dalam gambar anda.

Semoga tutorial ini bisa membantu anda dan menjawab semua pertanyaan anda mengenai fotografi jejak cahaya.
[beritasi.blogspot.com]
»»  Read More...

Senin, 16 Januari 2012

Teknik Dasar Fotografi: Menentukan White Balance (WB) untuk Memaksimalkan Warna Foto

Penentuan atau pemilihan White Balance (WB) adalah elemen yang sangat penting dalam dunia fotografi digital karena disitu kita akan dapat menentukan warna foto yang akan kita hasilkan.

Pada era fotografi film, white balance ditentukan pada film apa yang kita gunakan. Kita bisa memilih film daylight atau tungsten. Di era itu kita hanya dihadapkan pada 2 (dua) pilihan jenis film tersebut. Nah, untuk kebutuhan lainnya, kita harus menggunakan berbagai jenis filter.

Untuk era digital saat ini, white balance ditentukan sebelum kita memotret atau bisa juga setelah memotret kalau kita menggunakan format gambar RAW. Untuk format JPG akan menghasilkan foto grainy kalau dilakukan perubahan warna. Untuk kerja profesional kita harus menggunakan format RAW.

Pemilihan white balance bukan masalah benar atau salah, tetapi masalah “kita mau jadinya seperti apa?”

[poetrafoto]
»»  Read More...

Memahami Istilah Full Frame & Crop Factor

Sering dengar kata “full frame”, “Crop factor”, “APS-C”, APS-H” dan masih tidak paham maksudnya? Pengertian kosakata ini tidak sekedar untuk tahu saja, tapi sangat berguna untuk memahami focal length. Pemahaman focal length akan berdampak pada lensa-lensa apa yang harus saya pilih.
Awalnya saat Single Lens Reflex (SLR) dibuat yang digunakan sebagai media adalah film. Masih ingat dong dengan kamera film tua dengan film Fuji atau Kodak? Nah itulah film dengan ukuran 35mm (36 x 24mm), inilah yang dikenal dengan film dengan standard 135. Pada era film ini hampir semua kamera menggunakan format film yang sama. Semuanya merupakan kamera full frame, 35mm.
800px 135 fuji film macro 300x200 Memahami Istilah Full Frame 
& Crop Factor
Pada saat dunia digital dimulai membuat sensor harganya sangat mahal. Membuat sensor digital sebesar ukuran film 35mm harganya selangit, waktu itu hanya Canon 1Ds yang menggunakan sensor sebesar itu. Untuk menekan harga jual (sehingga bisa menjual lebih banyak) maka para produsen kamera membuat sensor dengan ukuran lebih kecil. Ukuran lebih kecil ini tentunya akan lebih murah dari segi biaya. Maka munculah berbagai ukuran sensor yang baru.
500px SensorSizes Memahami Istilah Full Frame & Crop Factor
Ukuran yang paling umum digunakan adalah jenis APS-C. Untuk jenis ukuran sensor ini Canon sedikit lebih kecil dibandingkan rekan-rekannya, walau semua masih disebut jenis APS-C. Sedangkan APS-H hanya digunakan oleh Canon pada kamera 1D (tanpa huruf s). Salah satu jenis sensor yang juga cukup populer belakangan ini adalah jenis Four Third yang umum digunakan oleh kamera Olympus. Sedangkan baris paling bawah dari skema diatas umumnya digunakan oleh kamera pocket digital dengan ukuran sensor yang super kecil.
Apa dampak penggunaan sensor yang lebih kecil? Tentunya muncul “Auto-Crop” pada foto yang dihasilkan. Hal ini karena gambar dari lensa hanya ditangkap oleh sebagian kecil bidang yang ada sensornya.
Sensor Sizes Memahami Istilah Full Frame & Crop Factor
Courtesy of : http://philipbloom.net/
Dapat dilihat pada foto diatas. Pada kamera dengan full frame sensor maka hasilnya adalah sepenuh gambar. Dengan sensor APS-H dan APS-C yang lebih kecil maka foto seakan di crop menjadi lebih “kecil”. Saya memberikan tanda kutip pada kata “kecil” karena bisa jadi kamera dengan sensor APS-C memiliki resolusi sensor yang lebih besar, sehingga walau disebut crop tapi hasil cetak maksimal bisa lebih besar dibandingkan full frame tertentu (Misalnya kita membandingkan hasil dari Canon 5d Mark 1 dengan Canon 7d).
Tingkat crop ini dinyatakan dengan crop factor. Crop factor ini menyatakan faktor pengali focal length untuk menghasilkan Equivalent Field of View (EFOV). Contohnya begini : Pada foto diatas kita menggunakan lensa dengan focal length 14mm. Lihat hasil yang diperoleh oleh sensor APS-C, hasil seperti ini diperoleh dengan menggunakan lensa 22.4mm (14mm x crop factor 1.6) pada sensor full frame. Jadi kalau mau menghasilkan foto seperti full frame diatas (14mm) harus menggunakan lensa 8.75mm (14mm / 1.6) pada kamera dengan sensor APS-C.
Contoh lain lagi : lensa 200mm pada full frame akan bertindak seperti lensa 200mm (crop factor full frame 1x). Akan tetapi hasilnya seperti layaknya lensa dengan focal length 320mm pada kamera dengan sensor APS-C (crop factor 1.6x).

Apa dampak ukuran sensor? Dampak yang paling langsung adalah susunan lensa yang berbeda. Pada lensa full frame focal length 24mm sudah termasuk wide, akan tetapi di APS-C focal length ini hanyalah normal (24mm x 1.6 = 38.4mm). Jadi kalau saya punya susunan lensa sebagai berikut pada full frame :
  • Lensa super wide : Canon 17-40 f4 L
  • Lensa all round / normal : Canon 24-105 f4 L IS
  • Lensa tele : Canon 70-200 f4 L IS
canon 5d mark ii top Memahami Istilah Full Frame & Crop 
Factor
Pada kamera dengan sensor APS-C maka susunan focal length nya berubah :
  • Lensa super wide : Canon EF-S 10-22 f3.5-4.5 – setara dengan 16-35mm, paling wide sejauh ini untuk APS-C Canon
  • Lensa all round / normal : Canon EF-S 17-55 f2.8 IS – setara dengan 27-88mm
  • Lensa tele : Canon 70-200 f4 L IS – setara dengan 112-320mm
canon eos 1000d Memahami Istilah Full Frame & Crop Factor
Dapat dilihat bahwa urusan ukuran sensor ini sangat berpengaruh pada lensa wide & normal, bukan tele. Lensa tele justru makin tele dengan menggunakan sensor kecil. Tapi lensa wide menjadi tidak lagi wide dengan menggunakan sensor kecil. Hal inilah salah satu faktor mengapa fotografer landscape profesional lebih menyukai sensor full frame dibandingkan dengan sensor APS-C.
Lensa wide terbaik umumnya merupakan lensa prime / fixed focal length. Saat ini lensa wide terbaik merk Canon adalah EF 14mm & 24mm. Pada full frame kedua lensa ini memberikan sudut pandang yang lebar dan sangat berguna. Akan tetapi di sensor kecil seperti APS-C lensa ini hanya menghasilkan focal length setara 22.4mm & 38.4mm – masih kurang wide.
Canon mengeluarkan 2 lini lensa, EF & EF-S (L Series termasuk jenis EF). Lensa jenis EF bisa digunakan baik di sensor full frame maupun non-full frame. Akan tetapi jenis EF-S hanya bisa digunakan di kamera dengan crop factor 1.6x (ya, bahkan APS-H tidak bisa menggunakan EF-S). Jadi misalnya lensa EF-S 10-22 f3.5-4.5 tidak akan bisa digunakan di Canon 5dMarkII. Resiko penggunaannya adalah mirror pada kamera bisa mengenai bagian belakang dari lensa EF-S yang cenderung lebih menonjol ke dalam.
Pada Nikon dikenal 2 jenis lensa pula (secara umum, karena ada pengelompokan lain-lain), yaitu DX dan non DX. Lensa DX hanya bisa digunakan di kamera dengan crop factor. Jadi misalnya lensa legendaris Nikkor 17-55 f2.8 DX tidak akan bisa digunakan sempurna di D700 misalnya. Perbedaannya adalah di Nikon lensa DX sebenarnya masih bisa digunakan di full frame, akan tetapi crop nya akan cukup “gila” – dari 12.1 Mpixel dengan menggunakan lensa non DX, menjadi  hanya 5.1 MPixel jika menggunakan lensa DX.
canon 14mm comparison Memahami Istilah Full Frame & Crop 
Factor
Canon 16-35mm, 14mm & Sigma 12-24mm
Secara umum kelebihan sensor full frame :
  • Karena ukuran sensor yang lebih besar maka mampu menggunakan lensa wide sesuai dengan focal length yang tertera, tidak di kalikan dengan crop factor lagi
  • Ukuran sensor yang lebih besar membuat performance sensor di ISO tinggi lebih baik, lebih bersih dari noise dan cenderung sedikit lebih tajam dengan gradasi warna yang lebih baik
  • Depth-of-field yang lebih sempit, hasilnya adalah blur yang lebih bagus. Ingat bahwa sensor kecil hanya mengambil sebagian dari depth-of-field dari lensa, menggunakan sensor full frame akan menampilkan seluruh ruang tajam yang ditangkap lensa.
Sedangkan secara umum kekurangan sensor full frame adalah :
  • Harga sensor yang mahal membuat kamera full frame umumnya mencapai 2x lipat lebih mahal dari sensor kecil
  • Ukuran sensor yang besar umumnya membuat munculnya light fall-off & vignette di ujung-ujung gambar. Hal ini karena kualitas pencahayaan & ketajaman terbaik dari lensa umumnya ada di tengah. Sensor kecil membuat kita menggunakan bagian “terbaik” dari suatu lensa.
Pahami ukuran sensor anda & crop factornya. Lalu susun jajaran lensa anda sesuai dengan kebutuhan dan juga crop factor nya.

[www.motoyuk.com]
»»  Read More...

Apa itu Foto?

Bagi kebanyakan orang, pertanyaan “Apa itu foto?” mungkin dianggap sepele dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahkan ketika diajukan kepada para peminat fotografi, jawaban yang biasanya mengemuka adalah definisi yang diberikan oleh kamus, yaitu gambar yang dihasilkan dengan menangkap cahaya pada medium  yang telah dilapisi bahan kimia peka cahaya atau sensor digital (kombinasi dari photo yang berarti cahaya, dan graph yang berarti catatan, tulisan, atau lukisan). Tidak banyak yang sadar bahwa di balik kesederhanaan artefak yang benama foto tersimpan kerumitan yang membuat definisi foto tidak sesederhana yang dibayangkan.


Pada level wujud, foto memang sebuah gambar, sebuah penyerupaan yang dihasilkan lewat proses yang dinamakan fotografi. Namun pada definisi paling dasar ini pun, tersimpan persoalan. Ada banyak jenis gambar yang dapat digolongkan sebagai foto. Pada abad ke-19, ada daguerrotype, heliotype, cetak albumen, cetak gelatin perak, photogravure,  dan lukisan fotogenik. Di abad ke-20, ada polaroid, pindai elektronik (electronic scanner), foto digital, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan wujud seperti itu mengingatkan kepada kita akan kerumitan yang inheren pada sifat foto itu sendiri: Definisi foto sebagai objek selalu terkait dengan (dan bergantung pada) konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, dan konteks teknologi. Dengan kata lain, konteks-konteks itulah yang sebenarnya menjadi salah satu penentu definisi, makna, dan nilai foto.


Kerumitan definisi foto tidak hanya terjadi pada level wujud. Secara fungsional, definisi, makna, dan nilai foto terus mengalami perubahan sejalan dengan transformasi dan metamorfosis wujudnya. Dari segi warna, foto hitam putih dan foto warna adalah dua hal yang berbeda. Dari segi ukuran dan bentuk, foto besar dan foto kecil, foto persegi dan foto persegi panjang atau bulat juga berbeda. Kualitas pencetakan (mengilat atau dof, dicetak di atas kertas tipis atau tebal), media yang digunakan (analog atau digital), cara penyimpanan dan penyajian (dalam dompet, album, bingkai, atau media penyimpanan dan penyajian digital), dan tujuan penggunaan (untuk kartu tanda pengenal diri, koran, majalah, atau pameran di galeri) juga mengubah dan memengaruhi pemahaman kita terhadap nilai dan status foto sebagai objek. Foto KTP yang berfungsi sebagai penanda jatidiri, misalnya, boleh jadi berubah status dan mendapat tanggapan yang berbeda jika dipajang di galeri dan dinyatakan sebagai spesimen praktik fotografi yang khas.


Kerumitan definisi foto tidak hanya melibatkan wujud an fungsinya, namun juga pada genre-genre yang dilabelkan kepadanya. Pengategorian foto ke dalam genre-genre yang berbeda merupakan upaya mengodifikasi referensi dan status foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi. Label genre foto seni, misalnya, melibatkan asumsi-asumsi yang berbeda dengan asumsi-asumsi yang disandang oleh foto dokumentasi. Akibat pengategorian dan konstruksi asumsi-asumsi yang dipakai untuk pengategorian itu, foto yang fungsional – misalnya, foto dokumentasi – seringkali dianggap kurang bernilai dibandingkan dengan foto yang kurang atau tidak fungsional, seperti foto seni.


Proses pengategorian foto dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dikonstruksi ini telah terjadi sejak masa-masa awal perkembangan fotografi. The Photographic Society, yang didirikan di London pada tahun 1853 dan kemudian berubah nama menjadi The Royal Photographic Society, misalnya, didirikan dengan tujuan untuk menjadikan praktik fotografi sebagai bagian dari tradisi akademik seni rupa. Karena ketiadaan referensi yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk menyusun hirarki dan melakukan pengategorian genre foto pada waktu itu, maka dipakailah asumsi-asumsi dari sumber seni visual terdekat, yaitu seni lukis. Akibatnya, praktik fotografi terus dibayang-bayangi oleh “hantu seni lukis”: Fotografi sebagai cabang seni tidak memiliki tradisi akademik yang mandiri. Keberadaannya sebagai salah satu cabang praktik seni selalu dikaitkan dengan (dan didasarkan pada) tradisi akademik seni lukis. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran bila praktik, apresiasi, dan kritik fotografi hingga saat ini masih terus menggunakan paradigma-paradigma seni lukis.


Jadi, apa itu foto?


Jawaban atas pertanyaan ini akan terus bergulir dan menjadi perdebatan .


Ditulis oleh Eki Qushay Akhwan [fotografer.net]
»»  Read More...